A. Latar Belakang
Dalam beberapa periode terakhir Indonesia banyak mengalami permasalahan internal, multikuturalisme-pluralisme. Benturan keduanya (multikulturalisme-pluralisme) terhadap masyarakat Indonesia setidaknya melibatkan kesiapan suprastruktur (pemerintah) dalam mengontrol dan mengawasinya. Dampak dari benturan (multikulturalisme-pluralisme) adaalah dibentuknya organisasi-organisasi masyarakat, diantaranya seperti KONTRAS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), ICW (Indonesia Corruption Watch), MASTAN (Masyarakat Standarisasi Indonesia ), FPI (Front Pembela Islam), dll. Organisasi-organisasi tersebut mempunyai orientasi yang berbeda, seperti FPI misalnya, organisasi ini dibentuk berdasarkan tendensi pada agama dalam hal ini adalah agama islam yang diklaim sebagai agama mayoritas di Indonesia . FPI ini didirikan tidak lama setelah runtuhnya rezim Soeharto (tahun 1998), dengan tujuan menegakkan hukum Islam di Negara sekuler (Indonesia ). Namun dalam perkembangannya organisasi ini banyak mengundang kontroversi, karena sebagai suatu organisasi FPI telah jauh melangkah dan bertindak sebagai polisi moral.
Kontroversi yang panjang ini pada akhirnya menjadi tema yang menarik, yang kemudian saya angkat dalam makalah saya ini, tentang problem pembekuan/pembubaran organisasi masyarakat, dalam hal ini adalah FPI dan tantangan pluralisme dalam Indonesia .
B. Masalah
FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998, terutama yang dilakukan oleh laskar paramiliternya yakni Laskar Pembela Islam. Rangkaian aksi penutupan klab malam, tempat pelacuran dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa . Walaupun disamping aksi-aksi kontroversial tersebut FPI juga melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan antara lain pengiriman relawan ke daerah bencana tsunami di Aceh. Tindakan FPI sering dikritik berbagai pihak karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain. Pernyataan bahwa seharusnya Polri adalah satu-satunya intitusi yang berhak melakukan hal tersebut dijawab dengan pernyataan bahwa Polri tidak memiliki insiatif untuk melakukannya.
Karena aksi-aksi kekerasan itu meresahkan masyarakat, termasuk dari golongan Islam sendiri, beberapa ormas menuntut agar FPI dibubarkan. Melalui kelompok surat elektronik yang tergabung dalam forum wanita-muslimah mereka mengirimkan petisi pembubaran FPI dan ajakan bergabung. Menurut mereka walaupun FPI membawa nama agama Islam, pada kenyataannya tindakan mereka bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islami, bahkan tidak jarang menjurus ke vandalisme.
C. Landasan teori
Organisasi masyarakat pada dasarnya adalah organisasi yang berbasiskan anggota dengan berdasarkan pada semangat kesukarelawanan untuk mencapai tujuan bersama.[1] Maka tak heran, apabila banyak pegiat kemasyarakatan yang memilih bentuk perhimpunan dan/atau perkumpulan sebagai wadah atau badan hukum organisasinya.
Secara umum organisasi masyarakat di Indonesia diatur melalui :
Ø UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan,
Ø PP No 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No 8 tahun 1985 yang mengatur secara detail keberadaan Organisasi Masyarakat di Indonesia. Selain itu, dan
Ø Penpres No 1 Tahun 1965 juga mengatur tentang pembekuan dan pembubaran suatu organisasi yang diduga melakukan penghinaan terhadap agama.
Sementara pembekuan suatu organisasi diatur dalam :
Ø UU No 8/1985 Pasal 13 jo Pasal 14 yang diantaranya suatu Organisasi dilarang untuk melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah, memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.
Ø PP No 18 Tahun 1986 dalam BAB VII tentang Tata Cara Pembekuan dan Pembubaran dimana ada syarat-syarat pembekuan dan/atau pembubaran suatu organisasi masyarakat diantaranyamelakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau menerima bantuan pihak asing tanpa persetujuan Pemerintahan Pusat dan/atau memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara, dan menganut, mengembangkan dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme Leninisme serta ideologi, paham atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya, sesuai dengan ruang lingkup keberadaan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan.
Pada akhirnya pemerintah telah berusaha untuk ’menjamin’ individu yang mempunyai tujuan kolektif untuk membentuk suatu organisasi masyarakat sipil, namun jika birokrasi yang berjalan tidak cukup memadai maka ini adalah kegagalan, dan kemandegan dalam masyarakat.
Dalam makalah ini saya memakai bentuk organisasi melalui pandangan Max Weber[2] memandang Birokrasi (Struktur Ideal dari sebuah Organisasi) sebagai prototype rancangan struktur organisasi kebanyakan yang setidaknya harus mencakupi :
1. Adanya pembagian kerja
2. Sebuah hirarki wewenang yang jelas
3. Prosedur seleksi yang formal
4. Peraturan yang terperinci
5. Hubungan yang tidak didasarkan pada hubungan pribadi/impersona.
D. Pembahasan
Data yang saya dapatkan tercatat 34 kasus menyangkut keberadaan organisasi FPI dalam masyarakat.[3] Setidaknya FPI telah melakukan tindakan diskriminasi tidak hanya untuk non-islam melainkan islam itu sendiri. Bagaimana tidak, dalam setaiap aksi yang dilakukan selalu menyuarakan hukum Tuhan, mengatasnamakan Tuhan dalam setiap tindakan ‘etisnya’. Beberapa kasus yang menurut saya penting yang melibatkan FPI seolah menjadi polisi moral dan kedaulatannya dalam mengontrol masyarakat melampau kewenanngan pihak berwajib, antara lain adalah :
· Pada bulan Mei 2006, FPI berseteru dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pertikaian ini berawal dari acara diskusi lintas agama di Purwakarta, Jawa Barat. Gus Dur, yang hadir di sana sebagai pembicara, sempat menuding organisasi-organisasi Islam yang mendukung Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi disokong oleh sejumlah jenderal. Perdebatan antara Gus Dur dan kalangan FPI pun memanas sampai akhirnya mantan presiden ini turun dari forum diskusi.[3]
· Pada bulan Juni 2006 Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo dan Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto untuk menindak ormas-ormas anarkis secepatnya. Pemerintah, melalui Menko Polhukam Widodo AS sempat mewacanakan pembubaran ormas berdasarkan peraturan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, namun hal ini hanya berupa wacana, dan belum dipastikan. Kabarnya pendiria ormas di Indonesia harus berdasarkan Pancasila sedangkan FPI berdasarkan syariat Islam dan tidak mau mengakui dasar lainnya. Kalangan DPR juga meminta pemerintah bertindak tegas terhadap ormas-ormas yang bertindak anarkis dan meresahkan ini. Tindakan tegas aparat keamanan dinilai penting agar konflik horizontal tidak meluas. [4]
· Pada 20 Juni 2006 Dalam acara diskusi "FPI, FBR, versus LSM Komprador" Rizieq menyatakan bahwa rencana pemerintah untuk membubarkan ormas Islam adalah pesanan dari Amerika merujuk kedatangan Rumsfeld ke Jakarta.[12] FPI sendiri menyatakan bahwa bila mereka dibubarkan karena tidak berdasarkan Pancasila maka organisasi lainnya seperti Muhammadiyah dan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) juga harus dibubarkan.[5]
E. Penutup
Kesimpulan
Harus menjadi kesepakatan di antara kelompok-kelompok masyarakat sipil bagaimana tindakan porporsional dapat dijatuhkan kepada suatu organisasi tanpa mencederai semangat perlindungan kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Namun pendekatan pengambilan keputusan politik melalui tangan pemerintah dan DPR jelas harus ditolak. Beberapa langkah perlu dipikirkan misalnya seperti apakah satu atau beberapa orang pengurus yang melakukan tindak pidana juga harus mempunyai akibat terhadap keberlangsungan organisasi? Atau, apakah pembekuan dan/atau pembubaran suatu organisasi masyarakat dapat diletakkan dalam tangan pengadilan?.
Saran
Jaminan yang diberikan Negara mengenai kebebasan dan legitimasi dalam pembentukan organisasi masyarakat merupakan langkah awal dalam menjalankan misi multikulturalisme-pluralisme di Indonesia, namun disisi lain juga akan menmbulkan konflik ketika dalam praktir social, pemerintah gagal mengontrol gerakan organisasai masyarakat, jadi infrastuktur (masyarakat) dan suprastruktur (birokrat, pemerintah) harus saling menyokong keberadaan satu sama lain, pemerintah dengan kekuatan legitimasinya seharusnya mampu mengatasi dan meredam konflik yang terjadi ketika organisasi masyarakat bekerja dalam praktik social. Seorang arsitektur bangunan tentunya lebih paham dengan model bangunan dan fungsinya ketimbang kontraktor bangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar